Curhatan Ustadzah Part 1

05.44.00

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ



“Tiada hari tanpa galau”. Agaknya statement itu mulai memudar dari kehidupanku. Tapi malam ini agak sedikit gimana gitu. malam? Ini sudah dinihari bung. Percaya ga? Kalau bubur diangetin itu ga enak. Ga seenak bubur yang dimasak pertama kali. :D sayur juga kalau diangetin jadi beda rasanya, eh kalau sayur gori aku malah suka yang sudah diangetin berkali kali soalnya rasanya jadi tambah gurihh. ahaha apaan sih ga penting banget. (tau gori ga? Itu loh nangka muda) Emm okelah lanjut ke topik utama. Maap yak intronya agak gak nyambung dengan topik utama.

Gue mau cerita tentang pengalaman mengajar di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an. Tak terasa sudah sebulan saya menemani adik-adik TPA ini . lokasi TPA  tidak jauh dari tempat tinggalku tapi kalau ditempuh dengan berjalan kaki mayan lah bisa buat diet :D. Belum lama sih, baru awal Oktober melibatkan diri di TPA tersebut. Alasan ikut? menggapai Ridho Allah, ingin berbagi ilmu yang sudah saya dapatkan selama ini. Saya juga suka banget bertemu dengan anak-anak, sejuk rasanya memandang mereka yang masih unyu-unyu polos nan menggemaskan. Dari pada galau di kost mending cari kegiatan positif yang bermanfaat. Iya ga?

Mengajar tidak hanya mentransfer ilmu yang kita miliki, namun yang terpenting adalah bagaimana pembelajar paham dengan apa yang kita ajarkan. Mengajar juga diperlukan ketelatenan, kesabaran, keikhlasan dan keistiqomahan. Walau terkadang kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan bahkan lebih kejam dari itu dan mengharuskan diri untuk mengelus dada.

Beberapa problema yang dihadapi saat ini adalah sebagai berikut:

1. Santri kayak ga ada semangat belajar.
Pengennya ngaji Iqro/Al-qur’an terus. Pas dikasih materi malah pada ngeluh, alesannya pada ga bawa buku lah, ga mood lah. Dan pas ditanya katanya kalau ngaji nulis itu pas bulan ramadhan aja. Kalau setelah lebaran sih ngaji iqro/al-qur’an doank :O padahal dari pihak TPA minta diajarkan materi tajwid, akhlaq, b. arab dll. Pekan pertama ngajar, 20 menit materi kemudian dilanjutkan setor ngaji Iqro’ dan Al-Qur’an. pekan berikutnya entahlah seperti angin lalu

2. Santri lebih menyukai pengajar lama. Dibanding pengajar baru.
Bisa dimaklumi, karena mereka butuh adaptasi dengan pengajar baru butuh pendekatan intinya. coba pikir memang kamu bisa move on dalam waktu sekejap? Enggak kan. Semuanya butuh waktu dan proses kan? Sama kayak santri butuh proses untuk move on dari pengajar lama. 

3. Santri yang sedikit agak besar sulit diatur
Terkadang malah memberikan contoh yang tidak baik. Missal, menyalakan musik dari hp yang mereka bawa (bukan music positif tentunya). 

4. Ngaji nya sudah jauh tapi kurang berkwalitas.
Maksudnya makhraj, tajwid nya masih harus dibenahi lebih dalam. Apalagi yang sudah tingkat Al-Qur’an. Rasanya pengen diturunin ke Iqro’ tapi ga tega ngeliatnya.

5. Maunya ngaji tapi ga mau tau ilmunya.
Mau nya ngaji doang, ga mau kalau dikasih ilmu.

6. Rame
Namanya juga anak-anak. Rame itu wajar karena masih berpikir inginnya seneng terus, teruus seneng. Anak kuliah saja yang bisa dibilang sudah dewasa saja masih rame. 

7. Pengajar lama kurang mendukung saran yang baru.
Sebelum mengajar kita survey dulu bagaimana keadaan TPA tsb, melihat, mengamati, dan menyimpulkan apa yang harus dibenahi dari TPA tersebut. Sebelum mengajar kita juga dikumpulkan dan diberi pengarahan tentang pengajaran. Kita juga diminta untuk memberikan saran. Karena yang ditekankan dari TPA ini adalah perbaikan Akhlaq, Teman saya memberikan saran untuk santri tingkat SMP itu artinya sudah baligh. Dan sebaiknya kalau waktu pamitan tidak diperkenankan santri untuk bersalaman dengan non mahrom. Artinya santriwati salim dengan ustadzah dan santriwan salim dengan ustadz. Sebenarnya sih saran nya diterima, namun agak ga meyakinkan gitu njawabnya. Jawaban yang sedikit agak mengetuk-ngetuk sanubari adalah “ya nggih monggo kalau mau menjalankan seperti itu”. Ya namanya juga mau berubah ke yang lebih baik setidaknya semua elemen tikut terlibat. Tidak hanya saya dan teman saya saja. 

Setelah tadi ngobrol-ngobrol dengan trismi yang juga sesama pengajar pun merasakan hal yang sama seperti itu. Bang hadi Cuma bisa kasih saran. Semua itu butuh proses, awalnya dekati dulu mereka. Ambil hatinya dulu setelah itu ambil ampela nya. Hhha nek iki saran ngawur. Pada intinya yang dibilang bang hadi, ambil hati nya santri terus kalau sudah dapet nanti kita bakal enak mengajar.

Kalau dipikir-pikir memang benar. Sama seperti halnya ketika kita mau menghafal Al-Qur’an. Cintai dulu Allah, dekati dulu Allah. Insyaallah Allah akan mempermudah apa yang kita hafal. 







You Might Also Like

0 komentar

teman

QUOTE OF THE DAY

Jatuh untuk bangkit