Allah Mengujiku dengan Empat Nyawa

05.32.00

ﺑﺴﻢﷲﺍﻠﺮﺤﻤﻦﺍﻠﺮﺤﻴﻢ

Hidup ini memang ujian. Seperti apa pun warna hidup yang Allah
berikan kepada seorang hamba, tak luput dari yang namanya ujian.
Bersabarkah sang hamba, atau menjadi kufur dan durhaka.

Dari sudut pandang teori, semua orang yang beriman mengakui itu.
Sangat memahami bahwa susah dan senang itu sebagai ujian. Tapi,
bagaimana jika ujian itu berwujud dalam kehidupan nyata. Mampukah?
Hal itulah yang pernah dialami Bu Khairiyah. Semua diawali pada tahun 1992.

Waktu itu, Allah mempertemukan jodoh Khairiyah dengan seorang pemuda
yang belum ia kenal. Perjodohan itu berlangsung melalui sang kakak yang
prihatin dengan adiknya yang belum juga menikah. Padahal usianya sudah
nyaris tiga puluh tahun.

Bagi Khairiyah, pernikahan merupakan pintu ibadah yang di dalamnya
begitu banyak amal ibadah yang bisa ia raih. Karena itulah, ia tidak mau
mengawali pintu itu dengan sesuatu yang tidak diridhai Allah.

Ia sengaja memilih pinangan melalui sang kakak karena dengan cara
belum mengenal calon itu bisa lebih menjaga keikhlasan untuk memasuki
jenjang pernikahan. Dan berlangsunglah pernikahan yang tidak dihadiri
ibu dan ayah Khairiyah. Karena, keduanya memang sudah lama dipanggil
Allah ketika Khairiyah masih sangat belia.

Hari-hari berumah tangga pun dilalui Khairiyah dengan penuh bahagia.
Walau sang suami hanya seorang sopir di sebuah perusahaan pariwisata, ia
merasa cukup dengan yang ada.

Keberkahan di rumah tangga Khairiyah pun mulai tampak. Tanpa ada jeda
lagi, Khairiyah langsung hamil. Ia dan sang suami pun begitu bahagia.
"Nggak lama lagi, kita punya momongan, Bang!" ujarnya kepada sang suami.

Mulailah hari-hari ngidam yang merepotkan pasangan baru ini. Tapi buat Khairiyah, semuanya berlalu begitu menyenangkan.

Dan, yang ditunggu pun datang. Bayi pertama Bu Khairiyah lahir. Ada kebahagiaan, tapi ada juga kekhawatiran.

Mungkin, inilah kekhawatiran pertama untuk pasangan ini. Dari sinilah, ujian berat itu mulai bergulir.
Dokter menyatakan bahwa bayi pertama Bu Khairiyah prematur. Sang bayi lahir di usia kandungan enam bulan. Ia bernama Dina.

Walau dokter mengizinkan Dina pulang bersama ibunya, tapi harus terus
berobat jalan. Dan tentu saja, urusan biaya menjadi tak terelakkan
untuk seorang suami Bu Khairiyah yang hanya sopir.

Setidaknya, dua kali sepekan Bu Khairiyah dan suami mondar-mandir ke
dokter untuk periksa Dina. Kadang karena kesibukan suami, Bu Khairiyah
mengantar Dina sendirian.
Beberapa bulan kemudian, Allah memberikan kabar gembira kepada Bu Khairiyah. Ia hamil untuk anak yang kedua.

Bagi Bu Khairiyah, harapan akan hiburan dari anak kedua mulai
berbunga. Biarlah anak pertama yang menjadi ujian, anak kedua akan
menjadi pelipur lara. Begitulah kira-kira angan-angan Bu Khairiyah dan
suami.

Dengan izin Allah, anak kedua Bu Khairiyah lahir dengan selamat. Bayi
itu pun mempunyai nama Nisa. Lahir di saat sang kakak baru berusia satu
tahun. Dan lahir, saat sang kakak masih tetap tergolek layaknya pasien
berpenyakit dalam. Tidak bisa bicara dan merespon. Bahkan, merangkak dan
duduk pun belum mampu. Suatu ketidaklaziman untuk usia bayi satu tahun.

Beberapa minggu berlalu setelah letih dan repotnya Bu Khairiyah
menghadapi kelahiran. Allah memberikan tambahan ujian kedua buat Bu
Khairiyah dan suami. Anak keduanya, Nisa, mengalami penyakit aneh yang
belum terdeteksi ilmu kedokteran. Sering panas dan kejang, kemudian
normal seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu seterusnya.

Hingga di usia enam bulan pun, Nisa belum menunjukkan perkembangan
normal layaknya seorang bayi. Ia mirip kakaknya yang tetap saja tergolek
di pembaringan. Jadilah Bu Khairiyah dan suami kembali mondar-mandir ke
dokter dengan dua anak sekaligus.

Di usia enam bulan Nisa, Allah memberikan kabar gembira untuk yang
ketiga kalinya buat Bu Khairiyah dan suami. Ternyata, Bu Khairiyah
hamil.

Belum lagi anak keduanya genap satu tahun, anak ketiga Bu Khairiyah
lahir. Saat itu, harapan kedatangan sang pelipur lara kembali muncul.
Dan anak ketiganya itu bayi laki-laki. Namanya, Fahri.
Mulailah hari-hari sangat merepotkan dilakoni Bu Khairiyah.
Bayangkan, dua anaknya belum terlihat tanda-tanda kesembuhan, bayi
ketiga pun ikut menyita perhatian sang ibu.
Tapi, kerepotan itu masih terus tertutupi oleh harapan Bu Khairiyah
dengan hadirnya penghibur Fahri yang mulai berusia satu bulan.
Sayangnya, Allah berkehendak lain. Apa yang diangankan Bu Khairiyah
sama sekali tidak cocok dengan apa yang Allah inginkan. Fahri, menghidap
penyakit yang mirip kakak-kakaknya. Ia seperti menderita kelumpuhan.

Jadilah, tiga bayi yang tidak berdaya menutup seluruh celah waktu dan
biaya Bu Khairiyah dan suami. Hampir semua barang berharga ia jual
untuk berobat. Mulai dokter, tukang urut, herbal, dan lain-lain. Tetap
saja, perubahan belum nampak di anak-anak Bu Khairiyah.

Justru, perubahan muncul pada suami tercinta. Karena sering kerja
lembur dan kurang istirahat, suami Bu Khairiyah tiba-tiba sakit berat.
Perutnya buncit, dan hampir seluruh kulitnya berwarna kuning.

Hanya sekitar sepuluh jam dalam perawatan rumah sakit, sang suami
meninggal dunia. September tahun 2001 itu, menjadi titik baru perjalanan
Bu Khairiyah dengan cobaan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
Dan, tinggallah sang ibu menghadapi rumitnya kehidupan bersama tiga
balita yang sakit, tetap tergolek, dan belum memperlihatkan tanda-tanda
kesembuhan.

Tiga bulan setelah kematian suami, Allah menguji Bu Khairiyah dengan
sesuatu yang pernah ia alami sebelumnya. Fahri, si bungsu, ikut pergi
untuk selamanya.
Kadang Bu Khairiyah tercenung dengan apa yang ia lalui. Ada sesuatu yang hampir tak pernah luput dari hidupnya, air mata.

Selama sembilan tahun mengarungi rumah tangga, air mata seperti tak
pernah berhenti menitik di kedua kelopak mata ibu yang lulusan 'aliyah
ini. Semakin banyak sanak kerabat berkunjung dengan maksud menyudahi
tetesan air mata itu, kian banyak air matanya mengalir. Zikir dan
istighfar terus terucap bersamaan tetesan air mata itu.

Bu Khairiyah berusaha untuk berdiri sendiri tanpa menanti belas
kasihan tetangga dan sanak kerabat. Di sela-sela kesibukan mengurus dua
anaknya yang masih tetap tergolek, ia berdagang makanan. Ada nasi uduk,
pisang goreng, bakwan, dan lain-lain.

Pada bulan Juni 2002, Allah kembali memberikan cobaan yang mungkin menjadi klimaks dari cobaan-cobaan sebelumnya.

Pada tanggal 5 Juni 2002, Allah memanggil Nisa untuk meninggalkan
dunia buat selamanya. Bu Khairiyah menangis. Keluarga besar pun berduka.
Mereka mengurus dan mengantar Nisa pergi untuk selamanya.
Entah kenapa, hampir tak satu pun sanak keluarga Bu Khairiyah yang
ingin kembali ke rumah masing-masing. Mereka seperti ingin menemani
Khairiyah untuk hal lain yang belum mereka ketahui.

Benar saja, dua hari setelah kematian Nisa, Nida pun menyusul.
Padahal, tenda dan bangku untuk sanak kerabat yang datang di kematian
Nisa belum lagi dirapikan. Inilah puncak dari ujian Allah yang dialami Bu Khairiyah sejak pernikahannya. Satu per satu, orang-orang yang sebelumnya tak ada dalam hidupnya,
pergi untuk selamanya. Orang-orang yang begitu ia cintai. Dan akhirnya
menjadi orang-orang yang harus ia lupai.

Kalau hanya sekadar air mata yang ia perlihatkan, nilai cintanya
kepada orang-orang yang pernah bersamanya seperti tak punya nilai
apa-apa.

Hanya ada satu sikap yang ingin ia perlihatkan agar semuanya bisa
bernilai tinggi. Yaitu, sabar. "Insya Allah, semua itu menjadi tabungan
saya buat tiket ke surga," ucap Bu Khairiyah kepada Eramuslim. (mnh)

(Seperti dituturkan Bu Khairiyah, warga Setiabudi Jakarta, kepada Eramuslim)


You Might Also Like

0 komentar

teman

QUOTE OF THE DAY

Jatuh untuk bangkit